![]() |
Image : istockphoto.com |
Sebuah studi baru-baru ini menemukan hubungan antara aktivitas penerbangan yang sering dengan penuaan.
Pesawat adalah salah satu moda transportasi yang banyak digunakan untuk melakukan perjalanan antara kota dan negara. Selain cepat, pesawat juga merupakan transportasi teraman yang tersedia.
Namun, baru-baru ini, satu studi menunjukkan bahwa mereka yang naik pesawat terlalu sering atau sering bepergian sering mengalami berbagai penyakit yang menyebabkan penuaan dini.
Menurut penelitian yang diterbitkan dalam halaman SCMP dan Asia One, jeda waktu karena pendekatan yang sering disebut sebagai salah satu penyebabnya.
Rupanya, jeda waktu dapat membunuh gen yang terkait dengan sistem kekebalan tubuh manusia, yang meningkatkan risiko stroke atau serangan jantung.
Tidak hanya itu, jeda waktu jangka panjang pada awak kabin telah lama dikaitkan dengan penurunan fungsi memori.
"Salah satu efek terbesarnya adalah gangguan tidur terus menerus, yang dikaitkan dengan banyak masalah kesehatan. Ini dapat memengaruhi metabolisme dan meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung, dan tekanan darah," kata Dr. Nichola Salmond, pemilik Optimal Kesehatan Keluarga di Hong Kong.
Selain itu, ada juga masalah stres ketika naik pesawat karena keterlambatan, pemeriksaan keamanan dan masalah cuaca. Ini bisa membuat seseorang merasa sulit berkonsentrasi, jadi fungsi kognitif juga berkurang.
Anehnya, terbang terlalu sering ternyata juga bisa membuat seseorang terkena radiasi seperti pekerja di pembangkit listrik tenaga nuklir.
Menurut para peneliti ilmiah di Universitas Kota New York, para pelancong yang terbang 85.000 mil per tahun akan memiliki tingkat radiasi yang lebih tinggi dalam tubuh daripada pekerja nuklir.
Belum lagi makanan di atas kapal umumnya memiliki kadar garam dan gula yang lebih tinggi. Ini karena bahasa manusia menjadi kurang sensitif ketika berada di pesawat terbang. Untuk mengatasinya, kadar garam dan gula dalam makanan pesawat harus ditingkatkan.
Kombinasi faktor-faktor ini dapat menyebabkan pelancong yang sering menderita berbagai penyakit dan fungsi tubuh mereka menua lebih cepat.
Meski begitu, itu tidak berarti bahwa tidak ada solusi yang bisa dilakukan wisatawan untuk mengurangi efek buruk yang ada.
Menurut pengakuan seorang musafir yang sering bepergian yang jam terbangnya mencapai 200.000 mil per tahun, ia mencoba makan sebelum terbang dan mengurangi makanan di pesawat.
Selain itu, wisatawan dapat mencari hotel yang memiliki permainan olahraga. Mengontrol waktu tidur Anda dengan disiplin juga merupakan langkah penting dalam mengatasi jeda waktu.
Di sisi lain, efek buruk naik pesawat ternyata juga dapat diatasi dengan memiliki sikap positif tentang bepergian.
Mereka yang menganggap bepergian sebagai cara menjaga kesehatan mental umumnya juga akan sehat secara fisik.
"Segala sesuatu yang membuatmu bahagia itu baik. Baru-baru ini aku melihat sebuah penelitian yang mengatakan orang bahagia hidup lebih lama. Menjaga otak tetap aktif dapat mencegah penyakit Alzheimer, dan pergi ke tempat baru selalu lebih baik daripada duduk di rumah menonton TV." Nichola Salmond menyimpulkan.
Pesawat adalah salah satu moda transportasi yang banyak digunakan untuk melakukan perjalanan antara kota dan negara. Selain cepat, pesawat juga merupakan transportasi teraman yang tersedia.
Namun, baru-baru ini, satu studi menunjukkan bahwa mereka yang naik pesawat terlalu sering atau sering bepergian sering mengalami berbagai penyakit yang menyebabkan penuaan dini.
Menurut penelitian yang diterbitkan dalam halaman SCMP dan Asia One, jeda waktu karena pendekatan yang sering disebut sebagai salah satu penyebabnya.
Rupanya, jeda waktu dapat membunuh gen yang terkait dengan sistem kekebalan tubuh manusia, yang meningkatkan risiko stroke atau serangan jantung.
Tidak hanya itu, jeda waktu jangka panjang pada awak kabin telah lama dikaitkan dengan penurunan fungsi memori.
"Salah satu efek terbesarnya adalah gangguan tidur terus menerus, yang dikaitkan dengan banyak masalah kesehatan. Ini dapat memengaruhi metabolisme dan meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung, dan tekanan darah," kata Dr. Nichola Salmond, pemilik Optimal Kesehatan Keluarga di Hong Kong.
Selain itu, ada juga masalah stres ketika naik pesawat karena keterlambatan, pemeriksaan keamanan dan masalah cuaca. Ini bisa membuat seseorang merasa sulit berkonsentrasi, jadi fungsi kognitif juga berkurang.
Anehnya, terbang terlalu sering ternyata juga bisa membuat seseorang terkena radiasi seperti pekerja di pembangkit listrik tenaga nuklir.
Menurut para peneliti ilmiah di Universitas Kota New York, para pelancong yang terbang 85.000 mil per tahun akan memiliki tingkat radiasi yang lebih tinggi dalam tubuh daripada pekerja nuklir.
Belum lagi makanan di atas kapal umumnya memiliki kadar garam dan gula yang lebih tinggi. Ini karena bahasa manusia menjadi kurang sensitif ketika berada di pesawat terbang. Untuk mengatasinya, kadar garam dan gula dalam makanan pesawat harus ditingkatkan.
Kombinasi faktor-faktor ini dapat menyebabkan pelancong yang sering menderita berbagai penyakit dan fungsi tubuh mereka menua lebih cepat.
Meski begitu, itu tidak berarti bahwa tidak ada solusi yang bisa dilakukan wisatawan untuk mengurangi efek buruk yang ada.
Menurut pengakuan seorang musafir yang sering bepergian yang jam terbangnya mencapai 200.000 mil per tahun, ia mencoba makan sebelum terbang dan mengurangi makanan di pesawat.
Selain itu, wisatawan dapat mencari hotel yang memiliki permainan olahraga. Mengontrol waktu tidur Anda dengan disiplin juga merupakan langkah penting dalam mengatasi jeda waktu.
Di sisi lain, efek buruk naik pesawat ternyata juga dapat diatasi dengan memiliki sikap positif tentang bepergian.
Mereka yang menganggap bepergian sebagai cara menjaga kesehatan mental umumnya juga akan sehat secara fisik.
"Segala sesuatu yang membuatmu bahagia itu baik. Baru-baru ini aku melihat sebuah penelitian yang mengatakan orang bahagia hidup lebih lama. Menjaga otak tetap aktif dapat mencegah penyakit Alzheimer, dan pergi ke tempat baru selalu lebih baik daripada duduk di rumah menonton TV." Nichola Salmond menyimpulkan.
0 Komentar