Big Ad

Header Ads

Pantang Menyerah, Cara Sukanto Tanoto Hadapi Krisis 1998


Sumber: sukantotanoto.com


Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1998 meninggalkan banyak cerita duka. Banyak nyawa melayang, begitu juga perusahaan yang tumbang. Krisis yang juga melanda Asia itu pun sempat menguji keteguhan hati Sukanto Tanoto dalam menjalankan bisnisnya. Namun berkat sikap pantang menyerah yang ia tunjukkan, grup bisnis yang dipimpinnya masih bertahan hingga sekarang. 

Terlilit Hutang Hingga Harus Menutup Salah Satu Perusahaan

Sejak berdiri pada tahun 1973, Royal Golden Eagle yang dipimpin oleh Sukanto Tanoto terus mengalami perkembangan. Banyak perusahaan yang terlahir di bawah naungan RGE. Sektor bisnis yang dikerjakan juga terbilang luas. Meski demikian, hal tersebut tak sepenuhnya membuat Royal Golden Eagle kebal dari krisis.

Hal tersebut benar-benar dirasakan Sukanto Tanoto pada tahun 1998 silam. Pada masa itu, kondisi di Indonesia bergejolak hebat. Jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar membuat harga barang melonjak. Bagi perusahaan, kejatuhan nilai rupiah ini pun berdampak pada besaran hutang perusahaan.

Dalam kondisi yang sulit di mana daya beli menurun drastis, sulit bagi perusahaan Sukanto Tanoto untuk mencetak penjualan secara stabil. Di sisi lain, biaya operasional selalu ada. Hingga akhirnya, jerat hutang senilai Rp 2,1 triliun membuat Sukanto Tanoto dan perusahaan yang ia bangun semakin terpukul.

Besarnya hutang yang ditanggung Sukanto Tanoto dan perusahaan terjadi akibat aktivitas investasi yang tetap dilakukan meski kondisi perekonomian yang sedang buruk. Keputusan ini pun harus diganjar dengan konsekuensi yang cukup berat. Dengan hutang yang begitu besar, grup Royal Golden Eagle terpaksa harus mendapat bantuan dari BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional).

Seakan belum cukup, salah satu perusahaan yang dibangun Sukanto Tanoto pun terpaksa harus ditutup. Perusahaan tersebut adalah PT Inti Indorayon Utama. Selain karena kondisi keuangan yang sedang sulit, ditutupnya perusahaan bubur kertas tersebut juga tidak lepas dari protes masyarakat atas limbah yang dihasilkannya. 

Pantang Menyerah Meski Terlilit Hutang Besar

Dengan hutang yang begitu besar, sangat mudah untuk berputus asa dan berhenti berusaha. Jika saja pada saat itu Sukanto Tanoto menyerah, grup bisnis Royal Golden Eagle mungkin sudah tidak ada lagi. Namun ia menolak untuk menyerah. Justru sebaliknya, ia tetap berusaha melewati krisis yang tengah melanda.

Krisis 1998 justru menjadi bahan pembelajaran yang sangat berharga bagi Sukanto Tanoto. Dalam kondisi krisis tersebut, ia belajar banyak hal. Ia semakin menyadari pentingnya diversifikasi bisnis. Tidak hanya itu, ia juga semakin yakin bahwa bisnis memang harus bisa memberi manfaat bagi banyak orang.

Untuk melewati krisis, Sukanto Tanoto mulai memperluas diversifikasi bisnisnya. Ia mulai merambah beberapa sektor bisnis seperti viscose rayon. Pada saat itu, ia melihat bahwa peluang di bidang viscose rayon tengah tumbuh. Tidak ingin kehilangan kesempatan, Sukanto Tanoto pun membangun pabrik Rayon di provinsi Jiangxi, Cina.

Dengan kepemimpinan Sukanto Tanoto, Royal Golden Eagle juga melebarkan sayapnya hingga ke Brazil. Di sini, ia mengakuisisi perkebunan eucalyptus. Tidak berhenti di situ saja, ia juga mendirikan pabrik pulp di negara tersebut.

Usaha yang secara konsisten dilakukan oleh Sukanto Tanoto bersama jajaran Royal Golden Eagle akhirnya berbuah manis. Secara bertahap, kondisi grup bisnis yang ia pimpin terus membaik. Lebih dari itu, Royal Golden Eagle justru berkembang lebih dari sebelumnya.

Beberapa unit bisnisnya sukses mendunia. Sebut saja Asian Agri yang saat ini disebut sebagai salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia. Begitu juga dengan APRIL Group yang kini dikenal sebagai salah satu produsen pulp dan kertas terbesar di dunia. Tentu saja, semua itu tidak mungkin bisa dicapai Sukanto Tanoto jika pada saat krisis ia memilih untuk menyerah.



Posting Komentar

0 Komentar